Oleh: Irawan Santoso, SH*
Jumat, 24 Januari 2025 lalu, Universitas Sumatera Utara menggelegar. Sebuah orasi ilmiah, pengukuhan Guru Besar Ilmu Hukum digelar. Di Gelanggang Mahasiswa USU Medan, ratusan orang diam menyimak. Sang orator, Prof. Dr. Edy Ikhsan, SH, MA, menyampaikan orasi tak biasa. Beliau memberikan judul pidatonya: ‘Ayam Mati di Lumbung Padi.’
Judul orasinya menarik. Karena rasio langsung berpikir, ‘Bagaimana mungkin ayam bisa mati di lumbung padi?’ Ternyata ini sebuah metaphor khas Melayu. Sang Guru Besar mengetengahkan tema perihal pergulatan pasal agrarian di negeri Melayu, khususnya wilayah Langkat, Deli dan Medan. Dulunya berada dalam otoritas Kesultanan Melayu, kini kaum etnik Melayu justru tak mendapatkan tanah itu. Pasca berlakunya hukum nasional, yang tentu merujuk pada model hukum Belanda.
Tema ini bisa dibilang sangat menggugah. Sang Guru Besar memang putera Melayu asli. Dia dididik di Medan, berkarir sebagai akademisi, sekaligus aktivis sejak mahasiswa hingga menjadi tokoh NGO nasional. Tapi era modernisme kini, jarang para akademis memiliki ‘kejujuran akademis’ dengan menampilkan masalah yang sejatinya berada dalam masyarakat. Karena jamak orasi pengukuhan Guru Besar kini, sering mengetengahkan tema masa depan. Perihal Intelegensia Artificial (IA), soal menghadapi metafisika 5.0, dan hal-hal yang tak diperlukan umat lainnya. Tapi kali ini, Prof. Edy Ikhsan, gagah berani berbicara tema masa lalu, yang sampai kini menjadi masalah. Dan masalah itu belum terselesaikan. Tema seperti inilah yang diperlukan para akademisi untuk menjawab masalah jaman.
Prof Edy Ikhsan membuka orasinya dengan epos tanah yang dulunya berada di bawah kekuasaan Kesultanan Deli, Kesultanan Langkat dan Kesultanan Serdang. Tiga titik itu yang jadi fokusnya. Tapi persoalan yang diketengahkan, menjadi prototype masalah agraria yang berlangsung seantero Indonesia. Sejak kekuasaan berganti. Dari era Kesultanan Islam, kemudian berubah menjadi Republik Indonesia. Komplikasi masalah agraria, tak kunjung selesai. Hingga urusan ‘pagar laut’, kemelut tanah ‘Pantai Indah Kapuk’ yang berlangsung di eks wilayah Kesultanan Banten, tentu berinterkoneksi dengan masalah ini. Karena disanalah jamak ‘ayam mati di lumbung padi.’ Karena tanah kemudian dikuasai segelintir oligarki. Tentu atas nama legal tender. Dengan kacamata akademis, Prof Edy mampu menjawabnya.
Karena sejatinya terjadi benturan antara hukum kolonial dan hukum lokal. Hukum kolonial, inilah yang kini masih digunakan Indonesia. Hukum ala Hindia Belanda, diambil sempurna untuk dijadikan hukum nasional. Sementara pra Republik, hukum yang hidup tentulah hukum local. Snocuk Hurgronje mendefinisikan itu sebagai hukum adat. Tapi bagi orang Melayu, tentulah yang berlaku ‘Adat Basandi Syara.’ Syara’ Basandi Kitabullah.’ Tesis Snouck mendudukkan teori recetio in complexu, tentu demi kepentingan pemerintahan Hindia Belanda memperlemah perlawanan muslimin di nusantara atas kolonialisme.
Dalam orasinya, Prof Edy membuka dengan catatan John Anderson perihal geologis tanah di wilayah itu. Sangat subur dan makmur. Berbeda dengan daerah lainnya. Ini yang membuat banyak ‘compagnie’ dari Belanda merajai pasar Eropa. Dengan produksi tembakau, perusahaan-perusahaan Belanda, Inggris, meraup banyak untung saat itu. Di titik itulah masyarakat Melayu mulai berhadapan dengan kolonialisme-kapitalisme.
Tapi Anderson, sebagaimana dalam Orasi Prof Edy, menggambarkan tipikal kaum Melayu saat itu. “Orang-orang Melayu dalam versi Anderson adalah yang suka takhayul, dan banyak yang menempatkan pada tradisi yang absurd dan takhayul.” Ini bentuk penggambaran tak utuh dari Anderson. Karena muslim Melayu saat itu tentu hidup dalam bingkai ‘Iman-Islam-Ikhsan.’ Para orientalis, jamak menyebut para sufi itulah orang yang bertakhayul. Sufi adalah bagian dari Islam, yang dikenal dengan ‘tarekah.’ Tentu maknanya bukan yang sifatnya aliran kepercayaan kebatinan. Sufi ini yang jadi pondasi kekuatan Islam sejak dulu. Kejayaan Kesultanan Utsmaniyya, Aceh Darussalam, Mataram, Moghul dan lainnya, tak bisa dilepaskan dari pengajaran Tassawuf. Itulah bagian dari pola kehidupan muslimin sejak dulu. Seorang peneliti asal Aceh, pernah menuliskan ‘seorang muslim yang tak bertarekat, maka tak dianggap sebagai muslim.’
Sejak abad 19, muncul gerakan pemusuhan atas sufisme, yang beriringan dengan masuknya paham modernisme. Inilah yang meruntuhkan Kesultanan-Kesultanan seantero dunia. Disitulah ‘takhayul’ dianggap identik dengan para sufi, yang dianggap bertentangan dengan rasional. Sementara modernisme, adalah paham yang merujuk rasional an sich. Menafikan kebenaran Naqli. Maka, sejak itulah benturan berlangsung.
Prof Edy menggambarkan: “Paruh ketiga abad ke 19, Deli, Serdang dan kawasan sekitarnya diperkenalkan dengan sesuatu yang sangat baru dalam kehidupan sosial ekonomi penduduknya. Kedatangan planters asing dalam pertanian tembakau yang ekspansif mengubah total mental masyarakat.” Maka kaum Melayu-lah yang kali pertama menghadapi serbuan westernisasi di nusantara.
Dalam orasinya, Prof Edy mengutip De Ridder yang para kaum barat itu sebagai satu bentuk masyarakat dengan mental yang baru hasil percampuran (pengaruh mempengaruhi) antara masyarakat adat dan masyarakat eropah yang modern, yang dia sebut dengan “de koloniale wissel werking.” Inilah yang menyerbu tanah Deli. Bukan dengan senjata. Melainkan dengan pemikiran dan bentuk perdagangan.
Ingat, era sebelum kolonialisme itu membaku, Melayu tentu tunduk pada Kesultanan. Ini bentuk ‘ketatanegaraan’ Islam yang dijalankan sejak Madinah al Munawarah. Kesultanan tentu berlandaskan syariat. Awal orang-orang Barat hadir ke nusantara, mereka bukan langsung menjajah dan menguasai tanah. Melainkan mengemis untuk berbelanja rempah, untuk dijual ke pasar Eropa.
Pasca Perang Sabil di Aceh dan Perang Jawa yang bersamaan, sejak itu tak banyak perlawanan dengan senjata terhadap Hindia Belanda dan pengikutnya. Kedua perang itu tentu diinisiasi kaum sufi. Di Aceh dan Pangeran Diponegoro di Jawa, mereka pengikut tareqah Syatariyyah, yang menyatu berperang jihad melawan Hindia Belanda dan pengikutnya. Takdir berkata lain. Mereka belum menang.
Pasca itulah, Hindia Belanda berusaha mengembalikan modal akibat kas mereka defisit. Maka program culture stelsel dilancarkan. Salah satunya di tanah Melayu. Mereka menemukan kesuburan tanah, yang cocok ditanami tembakau. Ini yang membuat ‘Deli’ terkenal di belantara Eropa kala itu. Tapi kaum Western yang untung besar.
Jaman itu, Kesultanan masih eksis. Pola kerjasama masih dilakukan dengan model konsesi. Para Belanda itu menyewa tanah dari Kesultanan. Istilah Belanda-nya dikenal dengan ‘konsesi.’ Dalam fiqih Islam, ini dikenal dengan ‘kharaj.’ Yang dimulai era Amirul Mukminin Umar Bin Khattab dulu. Begitu kaum muslimin membebaskan suatu wilayah, mereka menyewakan tanah itu kepada penduduk setempat, yang belum sebagai muslim. Tapi otoritas kekuasaan tetap berada di bawah Sultan.
Sultan, dalam fiqih Islam, adalah wujud dari ‘Ulil Amri Minkum.’ Inilah pemimpin muslimin. Era dulu, muslimin hidup berjamaah dipimpin seorang Sultan. Ini berlaku lokal. Karena belum dikenal model ‘ratio d’etat’ yang dibawa Napoleon sejak pasca Revolusi Perancis, 1789. Jadi umat masih hidup dalam bingkai kesultanan. Hukum yang hidup tentulah syariat.
Dalam orasinya, Prof Edy kerap menggunakan istilah ‘Kerajaan.’ Dr. Lombard mendefenisikan ini dengan jelas. Karena ‘kerajaan’ juga diartikan sebagai ‘roja’ yang maknanya adalah ‘harapan.’ Jadi berjamaah dan Raja’ itulah sebagai harapan. Ini dikenal dalam istilah Tassawuf: ‘Roja dan Khauf.’ Perihal ‘harapan’ dan ‘ketakutan’ pada Allah Subhanahuwataala semata. Seorang Raja/Sultan, wujud tali Allah di muka bumi ini. Dia sebagai ‘harapan’ atas keadilan yang merujuk pada Al Quran dan Sunnah. Maka, diistilahkan dengan ‘Kerajaan’ untuk penyebutan ‘Kesultanan’, juga hal yang lumrah.
Problemnya kemudian, pengajaran barat masuk ke nusantara serta merta dengan kolonialisme. ‘Kerajaan’ disamakan dengan kebencian para kolonialis pada ‘Raja-Raja’ Eropa dulu. Karena Perang Revolusi Perancis, 1789, adalah bentuk perang saudara kaum Eropa. Dasarnya adalah kebencian pada ‘Raja-Raja’ yang dianggap berlaku menyimpang. Ingat, di kerajaan Eropa dulu, Raja juga dianggap sebagai ‘wakil Tuhan.’ Adagium ‘Vox Rei Vox Dei’ (Suara Raja Suara Tuhan) ini mendahului ‘Vox Populi Vox Dei.’ Semangat perang pada Raja Eropa itulah yang ditularkan kaum barat di nusantara. Makanya kemudian melejit kebencian pada Sultan/Raja.
Tapi satu sisi terjadi juga bentuk penyimpangan atau penurunan nilai Islam. Banyak Sultan yang menyimpangkan jabatannya. Ini juga mungkin yang berlaku di tanah Melayu. Termasuk yang berada di tiha wilayah Kesultanan tadi. Seiring munculnya ‘konsesi’, para Sultan dianggap tak lagi berpihak pada umat.
Prof Edy sempat menggambarkan dalam orasinya:
“Said secara terus terang menunjuk Konsesi sebagai faktor yang mempercepat meletusnya perang Sunggal (1872-1859). Tentang ini, Sinar menulis: “Karena rakyat Sunggal melihat di sekeliling mereka, di Deli dan Langkat, tanah-tanah rakyat yang subur diberikan untuk konsesi perkebunan tembakau kepada maskapai (maatchapij)-maskapai asing, sedangkan keuntungannya tidak untuk rakyat di situ, mulailah rakyat Sunggal berjaga-jaga dan menentang cara-cara seperti itu. Kejadian meledak ketika di tahun 1870, Sultan Mahmud Deli berani menyerahkan tanah subur kepada maskapai Belanda “De Rotterdam”, tanah mana terletak di dalam wilayah Sunggal.”
Dimanika ‘konsesi’ ternyata menyihir Kesultanan Deli untuk makin memberikan konsesi luas kepada planters. Bahkan sampai wilayah yang telah menjadi pemukiman, diberikan konsesi. Ujungnya umat menjadi tersingkir. Disitulah meletus Perang Sunggal, yang menurut Prof Edy, wujud dari perlawanan awal masyarakat atas konflik agraria abad 19.
Tapi Perang Sunggal, dalam catatan sejarah, umat melakukan perlawanan atas warga asing, yang notabene bukan muslim. Karena dalam Islam, melakukan perlawanan pada Sultan, ini tergolong bughot (memberontak). Ini dianggap haram hukumnya. Jadi ketidakpuasan umat saat itu, mensasar bangsal-bangsal milik ‘maatschapij’ Barat yang berada di sana. Tentu para penyewa konsesi, kaum Belanda, kemudian menyorong Sultan untuk memadamkan perlawanan itu. Sejak itulah image bahwa Sultan dijadikan ‘boneka’ makin menjadi. Alhasil berujung pada peristiwa Sumatera Timur 1947, dimana ketidakpuasan masyarakat pada Kesultanan terlampiaskan. Kesultanan dan keluarganya menjadi sasaran amuk massa. Ini kejadian unik yang hanya berlangsung di tanah Melayu.
Sementara di Kesultanan Utsmaniyya, Kesultanan dibubarkan dengan paksa melalui pemikiran dan senjata. Mustafa Kemal Attaturk, membubarkan Kesultanan Utsmaniyya, karena desakan barat dan dirinya terkesima dengan cara berpikir modernis. Akibatnya Kesultanan Utsmaniyya bubar dan berdiri Republik Turki. Akibatnya, Jerusallem pun lepas dari kekuasaan Islam.
Di Melayu, termasuk di Malaysia, agak berbeda situasinya. Pengaruh westernisasi masuk melalui paham ‘konsesi’ sampai berujung Kesultanan terkesan ‘dimusuhi’ oleh umat sendiri. Tentu karena terjadinya ‘abuse of power.’ Karena konsesi itu lebih menguntungkan kaum kapitalis barat, yang mewujud dalam compagnie-companie. Lidah Pitung, pahlawan Betawi, menyebutnya dengan ‘kumpeni.’ Katena model ‘compagnie/company/kumpeni’ memang dibawa oleh Code Napoleon, yang dikenalkan Hindia Belanda dalam Burgejik Wetboek dan Wetboek van Koophandel. Kini kedua kitab itu diadopsi murni oleh Republik Indonesia.
Problem kemudian berlangsung pasca era sultaniyya. Jepang masuk ke nusantara, kemudian lahir Republik Indonesia. Warisan ‘konsesi’ ini ternyata pun berakhir. Prof Edy mempersoalkan ini. Karena konsesi sejatinya perjanjian yang dibuat antara pihak Kesultanan dan perusahaan Belanda. Tak melibatkan pihak ketiga.
Disinilah benturan hukum berlangsung. Karena Republik tak lagi menggunakan hukum Islam, maka persoalan menjadi-jadi. Prof Edy sempat mensitir pandangan Van Vollenhoven.
“Lebih lanjut Van Vollenhoven menjelaskan bahwa untuk daerah luar pulau Jawa dan Madura (antara lain Sumatera dan Minahasa) semua tanah yang tidak dibudidayakan (termasuk ke dalamnya tanah hutan) ditetapkan sebagai domein negara . Itu berarti di atas tanah domein, penguasaan atas tanah sepenuhnya ada di tangan pemerintah kolonial.”
Nah, wujud pemerintahan Republik adalah perpanjangan dari Hindia Belanda. Prof Edy dengan gagah berani mengatakan, “Nasionalisasi atau perampasan hak?” Karena kemudian pasca Republik berdiri, program nasionalisasi berlangsung, Bukan Cuma perusahaan-perusahaan milik orang Belanda, tapi ini berujung pada tanah konsesi. Sebelumnya status perusahaan Belanda adalah penyewa, tapi dalam nasionalisasi, malah mengambil keseluruhan tanah itu. Dianggap sebagai domain milik Negara (republik).
Dalam orasi, Prof Edy mempersoalkan bagaimana kedudukan Kesultanan dalam ‘konsesi’ yang sifatnya adalah perjanjian. Sebagaiman dalam Pasal 1320 KUH Perdata, maka perjanjian itu berlaku pacta sunt servanda. Pembuatnya hanya pihak Kesultanan dan perusahaan Belanda. Tapi program nasionalisasi malah membubarkan perjanjian itu, dan hak-hak Kesultanan kemudian diabairkan begitu saja.
Prof Edy menggambarkan: “Pengambilalihan yang dilakukan negara secara total atas tanah dan bangunan di atas lahan yang selama ini menjadi objek kontrak konsesi antara kesultanan Melayu di Sumatera Utara dengan perusahaanperusahaan Belanda tidak menyisakan sedikitpun hakhak
yang sediakala dimiliki oleh Kesultanan dan rakyatnya. Padahal di dalam konsepsi hukum perjanjian, konsesi merupakan satu jenis perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban di antara kedua belah pihak. Tak ada satu norma hukumpun yang boleh mengakhiri atau menghapuskan perjanjian tersebut jika
ia telah memenuhi kriteria yang diatur dalam pasal 1320 KUHPerdata.”
Inilah yang dia maksud sebagai ‘Ayam mati dilumbung padi.’ Ujungnya adalah masyarakat Melayu yang kehilangan tanahnya. Jika dulu di era Kesultanan, maka Melayu muslim masih mendapatkan tanah. Pasca konsesi dan berlaku agraria wet, malah Melayu menjadi kehilangan tanah.
Tentu ini analisi tajam dan menarik dari seorang akademisi mumpuni. Karena benturan hukum ini nyata terjadi.
Merujuk pada Hillaire Belloc, sejarawan Inggris mengatakan, “Tidak ada penguasa tanpa menguasai property.” Tanah adalah bagian dari property. Kekuasaan atas tanah, kini berada dalam ‘nation state’. Ini berlangsung sejak pasca Kesultanan. Karena dulu ‘Sultan adalah wakil Tuhan.’ Maka bumi ini sebagai kewenangan Sultan untuk menjadi wakil-Nya di dunia. Tapi sejak paham modernisme mencuat, maka terjadi pemindahan ‘kekuasaan.’ Karena sebelumnya ‘Kehendak Tuhan’ berubah menjadi ‘kehendak manusia/rakyat.’ Itulah ‘ration d’etat.’
Dr. Ian Dallas, dalam The Entire City (2015) menggambarkan apik ini bisa berlangsung. Kekuasaan, katanya, adalah wujud dari penguasaan property. Pasca Perang Dunia II, etnik Yahudi menguasai seantero dunia, berikut dengan menyebarkan pahamnya. Pasca itulah modern state menjadi modul penerapan kehidupan seantero dunia. Ujungnya adalah hak-hak muslimin kehilangan tanahnya. Apa yang berlangsung di Deli, tentu sama dengan yang berlangsung di Jerusallem. Hanya memang berbeda modus operandinya.
Tapi orasi ini menggugah umat untuk kembali berpikir. Konsesi kemudian dinasionalisasi, yang berujung hak Kesultanan menghilang. Kesultanan, tentu wujud bagaimana masyarakat muslim diatur dan mengatur. Inilah syariat. Sayyidina Umar Bin Khattab mengatakan, “Tak ada muslim tanpa jamaah. Tak ada jamaah tanpa kepemimpinan (Sultan). Tak ada Amr tanpa baiat.” Hilangnya hak tanah umat, seiring hilangnya kehidupan Islam itu sendiri. Pengembalian kekayaan (property) umat, tentu harus dibarengi pengembalian pemahaman Islam itu sendiri. “Islam tak dikalahkan dengan pedang. Melainkan dengan pemikiran,” kata Ian Dallas (Shaykh Abdalqadir as sufi).
Westernisasi membawa sekulerisme. Sekuler membawa hukum. Itu positivisme. Hukum yang berlaku, itulah menunjukkan siapa penguasa. Tapi Plato berkata, ‘Siapa yang berhak membuat hukum bagimu? Manusia atau Tuhan?” Positivisme, paham yang dibuat dari ‘kehendak manusia.’ Bukan berasal dari Kitab Suci.
Wendell Holmes, Hakim Agung Amerika berkata, “Kehidupan hokum bukanlah logika. Melainkan pengalaman…” Itulah tradisi. Kaum tradisionalis. Itu yang diistilahkan Anderson sebagai kaum yang percaya ‘takhayul.’ Tentu Anderson tak tepat. Itulah wujud kaum muslim yang ber-Tauhid. Era dulu, merekalah yang membuat dan membangun Kesultanan. Kaum tarekat. Bagian dari salah satu pilar DIN Islam. Rasullullah Shallahuallaihiwassalam bersabda, salah satu pilar Islam runtuh, maka DIN Islam akan runtuh. Iman-Islam-Ikhsan.
Penulis adalah Advokat dan Mudir Wustho Jamiyyah Ahlith Thariqah al Mu’tabarah an Nadliyyah (JATMAN) DK Jakarta