Sejarah Kedatukan Besitang
Kedatukan Besitang adalah wilayah bekas Kerajaan Aru yang pernah berdiri pada abad ke 11 hingga 16 Masehi. Nama Kerajaan Aru disebutkan dalam Pararaton (1336) dalam teks Jawa Pertengahan (terkenal dengan Sumpah Palapa) yang berbunyi:
“Sira Gajah Mada pepatih amungkubumi tan ayun amukti palapa, sira Gajah Mada: Lamun huwus kalah nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram, Tañjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompu, ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, samana ingsun amukti palapa.
Yang berarti:
“Dia, Gajah Mada sebagai patih Amangkubumi tidak ingin melepaskan puasa, Gajah Mada berkata bahwa bila telah mengalahkan (menguasai) Nusantara, saya (baru akan) melepaskan puasa, bila telah mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru akan) melepaskan puasa.
Kerajaan Aru berpusat di perbatasan Aceh yakni di kawasan hutan yang merupakan daerah aliran sungai Besitang, membentang dari Gunung Bendahara dan Gunung Lumut di sebelah Selatan menuju Teluk Aru di sebelah Utara.
Di sepanjang daerah aliran sungai Besitang inilah pemukiman penduduk bermula. Mereka melakukan kegiatan pertanian dan mengumpul hasil hutan seperti kapur barus (kamper), getah damar, kemenyan, emas dan lain-lain.
Di hulu sungai Besitang memiliki percabangan ke beberapa sungai, diantaranya sungai Buluh, Sipinang, Sikundur Kecil, Sikundur Besar. Semua sungai tersebut bermuara ke Teluk Aru dan menuju laut lepas di Selat Malaka.
Dalam Suma Oriental disebutkan bahwa kerajaan ini adalah kerajaan yang kuat. Kerajaan Aru merupakan penguasa terbesar di Sumatra yang memiliki wilayah kekuasaan yang luas dan memiliki pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh kapal-kapal asing.
Hal ini cukup beralasan, karena sebagia besar pelabuhan Kerajaan ini berada di sepanjang pantai kawasan Teluk Aru yang dilindungi oleh pulau Sembilan yang cukup besar dengan luas tidak kurang 1.500 Ha.
Pulau inilah yang menjadi benteng alam bagi seluruh pelabuhan yang ada di Kerajaan Aru agar terhindar dari ganasnya ombak laut Selat Malaka. Beberapa pelabuhan tersebut diantaranya berada di Pulau Kampai, Pematang Tengah, Tanjung Siata, Pulau Mesjid, Pulau Talang, Pulau Kera, Pangkalan Siata dan Pangkalan Susu.
Dalam laporannya, Tomé Pires juga mendeskripsikan akan kehebatan armada kapal laut kerajaan Aru yang mampu melakukan pengontrolan lalu lintas kapal-kapal yang melalui Selat Malaka pada masa itu. Dalam Sulalatus Salatin, Kerajaan Aru disebut sebagai kerajaan yang setara kebesarannya dengan Malaka dan Pasai.
Hasil penelitian arkeologi terbaru, di seputar situs Pulau Kampai yang diperoleh melalui observasi, survei, dan ekskavasi dalam rentang antara tahun 2010, 2011, dan 2013 menunjukkan masa ramai perniagaan Kerajaan Aru di Pulau Kampai diperkirakan berlangsung antara abad ke-11 hingga ke-15 M.
Penelitian yang berjudul “Perkembangan penelitian kepurbakalaan di Pulau Kampai, Sumut” tersebut, berhasil mengumpulkan data di areal sekitar 10 hektar, antara lain berupa beragam fragmen keramik, tembikar, manik-manik berbagai ukuran berbahan batuan serta kaca, fragmen wadah berbahan kaca, besi, perunggu atau tembaga, koin-koin Cina dan benda-benda berbahan batu.
Keragaman asal artefak yang ditemukan menunjukkan luasnya jejaring perniagaan yang singgah di bandar Pulau Kampai di masa lalu. Perniagaan yang terjadi tentunya bersifat timbal-balik, tidak hanya impor namun tentunya juga berlaku ekspor.
Peran yang dijalani oleh Pulau Kampai adalah sebagai semacam tempat pengumpulan dan ekspor produk-produk alam dari pedalaman hutan di hulu sungai Besitang seperti kamper, getah damar, emas, dan lain-lain; sekaligus tempat pengumpulan barang-barang impor yang akan didistribusikan ke pedalaman.
Dalam penelitian tersebut juga diperoleh informasi bahwa pusat Kerajaan Aru awal berada di Hulu sungai Besitang yang dahulu merupakan lokasi pencarian hasil hutan seperti kamper, kemenyan dan getah damar. Wilayah ini terkenal dengan nama Kota Batu Sipinang yang berada di dalam hutan Sikundur. Lokasinya berjarak kurang lebih 80 km dari Teluk Aru menyusuri sungai Besitang.
Penyebutan Kota Batu Sipinang karena lokasi ini merupakan gugusan gua. Informasi masyarakat, gugusan gua tersebut berada di tiga titik lokasi; yakni dua titik di hulu sungai Sipinang dan satu titik di hulu sungai Buluh. Saat ini di gugusan gua-gua tersebut menjadi lokasi perburuan sarang burung walet oleh masyarakat.
Setelah abad ke-16 Masehi, Kerajaan Aru berhasil ditaklukkan Kerajaan Samudra Pasai. Dan selanjutnya Menetapkan wali negeri Besitang (Vasal) dari Kesulthanan Aceh yang dipimpin oleh Sulthan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam. Wali-wali negeri tersebut diantaranya:
- Sulthan Muda Muhammad Malikul Adil yang memimpin dari masa Sulthan Iskandar Muda (1607 – 1636), dilanjutkan oleh Sulthan Iskandar Tsani Alauddin Mughayat Syah (1636 – 1641). Pada kepemimpinan Sulthan Muda Muhammad Malikul Adil inilah Besitang telah ramai dan masyarakatnya makmur karena budi daya lada.
- Setelah Sulthan Muda Muhammad Malikul Adil mangkat, digantikan oleh Sulthan Muda Malikul Nasir Raja Suja sebagai wali negeri Besitang kedua. Saat itu Kesulthanan Aceh dipimpin oleh Sulthanah Sri Ratu Safiatuddin Tajul Alam pada tahun 1641 - 1675.
- Selanjutnya ketika Sulthan Muda Malikul Nasir Raja Suja mangkat, lalu digantikan Sulthan Muda Malikul Fadil Abdul Hamid sebagai wali negeri Besitang (vasal) ketiga. Saat itu Kesulthanan Aceh dipimpin oleh beberapa Sulthanah yakni: Sri Ratu Naqiatuddin Nurul Alam (1675 - 1678), Sri Ratu Zaqiatuddin Inayat Syah (1678 - 1688) dan Sri Ratu Zainatuddin Kamalat Syah (1688 - 1699).
Pada periode antara tahun 1675 - 1701 terjadi huru hara yang menyebabkan merosotnya harga lada dan disusul krisis ekonomi dimana masyarakat sulit mencari penghidupan. Dan secara perlahan lahan pertanian di sepanjang sungai Besitang ditinggalkan oleh penduduk dan kembali menjadi rimba belantara.
Oleh pemimpin Kerajaan Aceh saat itu, yakni Sulthan Jamalul Alam Badrul Munir (1703-1726), status Besitang sebagai kerajaan yang tunduk kepada kesultahan Aceh dihapus dan para keturunan pemimpinnya (zuriat Raja Muda) dijadikan pembesar di Kerajaan Aceh dengan memberi gelar Laksamana yang kemudian menjadi panglima laut Kerajaan Aceh di wilayah Pantai Timur yang bermarkas di teluk Aru, diantaranya:
- Laksamana Teuku Syamsuddin orang kaya Laksamana Sigli yang merupakan panglima tinggi Angkatan Laut Aceh di wilayah antai Timur pada masa Kesulthanan Aceh dipimpin oleh dinasti Syarif Maulana yakni Sulthan Badrul Alam Syarif Hasyim Jamalundin antara tahun (1699 – 1702) Masehi.
- Laksamana Teuku Abdul Jalil pada zaman pemerintahan Kesultnanan Jamalul Alam Badrul Munir antara tahun (1703 - 1726) Masehi .
- Laksamana Teuku Meurah Husin pada zaman Kesulthanan Aceh dipimpin Sulthan Alauddin Ahmad Syah (1727 - 1735) Masehi.
- Laksamana Teuku Abdul Hamid memimpin negeri Besitang I pada zaman Sulthan Alauddin Johan Syah (1735 - 1760) Masehi, yang merupakan Sulthan Aceh keturunan Bugis.
- Laksamana Nyak Malim alias Teuku Kejuruan Sumali Panglima Angkatan Laut Aceh Timur pada zaman Kesulthanan Aceh yang dipimpin oleh Sulthan Alaudin Mahmud Syah (1760 - 1764) Masehi
- Laksamana Nyak Yat Ulee Balang/Kejuruan Negeri Besitang bawahan Sulthan Aceh Sulthan Badruddin Johan Syah (1764 - 1765) Masehi. Kemudian dipegang kembali oleh Sulthan Alaudin Mahmud Syah dari tahun 1765 hingga 1773 Masehi.
Foto Rumah Besar Kedatukan Besitang di Kampung Lama. Saat ini telah rata dengan tanah setelah terjadinya penyerangan dan pembakaran oleh kelompok masyarakat yang dipimpin oleh gerombolan PKI dan Pesindo. Peristiwa ini lebih dikenal Revolusi Sosial 1946
Barulah pada tahun 1773 Masehi status Negeri Besitang menjadi daerah otonom atau yang lebih dikenal dengan Kejuruan Negeri Besitang Berdiri Sendiri yang tidak lagi menjadi bawahan Kesulthanan Aceh. Mulai saat itu gelar kepemimpinan Kedatukan Besitang secara perlahan berubah dari Laksamana menjadi Datok, diantaranya:
- Laksamana Teuku Ibrahim Ja’par gelar Datok Jabut Ulee Balang Kejuruan Negeri Besitang yang dimulai pada tahun 1773- 1810 Masehi dan merupakan Datok Besitang pertama.
- Selanjutnya tampuk pimpinan dilanjutkan Laksamana Teuku Malim yang merupakan anak Laksamana Teuku Ibrahim Ja’par sebagai penerus Kejuruan Negeri Besitang pada tahun 1810 hingga tahun 1839 Masehi.
- Setelah Laksamana Teuku Malim wafat, kepemimpinan Besitang dilanjutkan oleh anaknya yang bernama Datok Orang Kaya (OK) Manja Kaya pada tahun 1839 Masehi. Sejak kepemimpinan Datok Srimaharaja OK Manja Kaya inilah nama Kejeruan Besitang berubah menjadi Kedatukan Besitang dan pemimpinnya bergelar Orang Kaya (OK).
Pada masa Datok OK Manja Kaya banyak terjadi pergolakan melawan kolonial Belanda. Belanda masuk setelah Kesulthanan Langkat yang pada saat itu dipegang oleh Sulthan Musa, meminta bantuan kepada Kesulthanan Siak karena penaklukan Aceh atas Langkat sekitar tahun 1850 Masehi. Kesulthanan Siak sendiri sudah bekerjasama dengan Belanda sebelumnya.
Namun di dalam zurirat Kesulthanan Langkat sendiri terjadi perpecahan karena ada penolakan Langkat bekerjasama dengan Belanda. Perpecahan ini berunjung pada pemberontakan Sutan Muhammad Syekh yang lebih dikenal dengan nama Tan Matsyekh bin Wan Sopan.
Perlawanan Tan Matsyeh mendapat bantuan persenjataan dari Aceh yakni melalui Tuanku Hasyim Banta Muda. Konon Besitang menjadi benteng bagi Tan Matsyekh untuk menyusun kekuatan. Dari sinilah Tan matsyeh mendapat bantuan masyarakat yang berasal dari suku Aceh, Gayo, Alas, dan Karo.
Peperangan berlangsung selama tiga tahun yakni pada tahun 1862-1865 Masehi.
Peperangan terhenti setelah Tan Matsyekh dijebak dan tertangkap di acara perkawinan kerabatnya di Hamparan Perak. Tan Matsyeh akhirnya dibuang ke Sukabumi, Jawa Barat hingga wafat pada 1885 Masehi dan dimakamkan di sana.
Tak lama kemudian Datuk OK Manja Kaya pun akhirnya wafat pada tahun 1886 Masehi. - Setelah wafatnya Datuk Sri Maharaja OK Manja Kaya, maka dinobatkanlah anaknya yang bernama Datok OK Muhammad Lia sebagai Datok Besitang selanjutnya, yakni pada tahun 1886 Masehi. Selepas tampuk tahta Kedatukan Besitang di tangannya, beliau pun langsung melakukan perlawanan kepada Belanda. Konon perlawanan beliau disebabkan ketidak senangannya kepada Belanda yang mengeksploitasi pertambangan minyak di Telaga Said yang merupakan kewilayahan Kedatukan Besitang. Pertambangan itu dibuka pada tahun 1884 Masehi.
Namun sayang, perlawanan tersebut berhasil dipatahkan. Akhirnya beliau ditangkap dan dibuang ke Bengkalis Negeri Siak dan dihukum mati di sana pada tahun 1887 Masehi. Atas jasa-jasanya Kedatukan Besitang memberi gelar kepada beliau sebagai Datok Johan Pahlawan. - Datok Besitang berikutnya jatuh kepada Datok OK Indra Lana gelar Datok Paduka Seri Indra yang merupakan anak dari Datok OK Muhammad Lia. Tahta Kedatukan Besitang ini diturunkan kepada beliau pada tahun 1887 Masehi, selepas ayahandanya wafat.
Pada masa kepemimpinannya, Besitang memilih bergerak senyap. Saat itu tampuk kekuasaan Kesulthanan Langkat telah beralih kepada Sulthan Abdul Aziz tepatnya pada tahun 1893 Masehi. - Dalam kondisi yang tidak menguntungkan, Datok OK Indra Lana pun pada tahun tersebut wafat dan digantikan anaknya yang bernama Datok OK Abdurrahman pada tahun 1893 Masehi. Kepemimpinan beliau sempat beberapa tahun vakum karena dirinya terbelit pembayaran ceti (utang dagang).
- Barulah setelah Datok OK Abdul Chalid dipanggil pulang dari sekolahnya di Mesir, tampuk kepemimpinan Kedatukan Besitang kembali terisi, yakni pada tahun 1926. Setelah beberapa waktu vakum karena tekanan Belanda. Memang pada saat itu Kesulthanan Langkat berhasil mendatangkan guru-guru dari luar seperti Maroko dan Mesir untuk mendidik anak-anak bumi putra terutama anak-anak orang besar seperti Kedatukan.
Dan Datok Besitang pun ikut menyekolahkan dua putranya yakni OK. Salamuddin dan OK Abdul Chalid. Namun sayang, Abdul Chalid anak yang paling kecil, kemudian tidak menamatkan sekolahnya di Mesir karena panggilan zuriat untuk meneruskan kepemimpinan Kedatukan Besitang yang kosong, yakni pada usia 16 tahun. Karena abangnya OK Salamuddin yang studi di universitas Sorborn Perancis, sebelumnya menolak pulang untuk meneruskan tampuk kedaukan Besitang.
OK Salamuddin inilah kelak menjadi juru runding untuk aceh dan republik Indonesia pada pertemuan utusan wakil internasional dengan Daud Beureueh yang selanjutnya menjadi pemangku Gubernur Aceh. Tidak sampai di situ saja, OK Salamuddin juga kemudian menjadi salah satu dari Dewan Eksekutif Aceh hingga jabatan Residen Sumatra Timur, bupati/walikota Langkat, Binjai, Simalungun dan Pematang Siantar.
Pada awal-awal kepemimpinan Datok OK Abdul Chalid, ekspansi perusahaan tambang minyak Belanda cukup gencar. Setelah berhasil melakukan penambangan minyak di Telaga Said, perusahaan Belanda terus mencari sumber-sumber minyak lainnya, seperti Pangkalan Berandan, Pangkalan Susu yang merupakan wilayah Kedatukan Besitang.
Untiuk mempertahankan wilayahnya tersebut, Datok OK Abdul Chalid akhirnya memilih strategi melakukan perjanjian dengan pemerintah Gubernur Hindia Belanda untuk melindungi kawasan hutan adat di wilayah hulu sungai Besitang. Setelah seorang peneliti Belanda berhasil meyakinkan Gubernur Hidia Belanda bahwa di wilayah hutan adat Kedatukan Besitang terdapat keanekaragaman hayati yang cukup besar dan perlu di lindungi.
Akhirnya OK Abdul Chalid melakukan penandatanganan perjanjian penetapan kawasan hutan adat Sikundur menjadi wilayah lindung sebagai warisan kepada bumi putra dan paru-paru dunia.
Pada masa revolusi, banyak terjadi pergolakan perlawanan menentang penjajahan Belanda. Perlawanan ini termasuk kepada Kesulthanan Langkat yang bekerjasama dengan Belanda.
Perlawanan ini lebih di kenal dengan peristiwa Revolusi Sosial. Beberapa zuriat Kesulthanan menjadi korban diantaranya penyair terkenal Tengku Amir Hamzah.
Zuriat Kedatukan Besitang pun mendapat imbas dari Revolusi Sosial tersebut. Masyarakat dari luar suku melayu tidak memahami perbedaan antara Kesulthanan dan Kedatukan sehingga Datok Chalid harus mengungsi ke Aceh. Setelah beberapa lama di Aceh kembali tapi tidak ke Besitang, akan tetapi tinggal di Medan dan merubah namanya menjadi Muhammad Chalid.
Akhirnya pada tahun 1962 Masehi Datok Abdul Chalid wafat dan dikebumikan di kompleks perkuburan Kesulthanan Deli di Mesjid Raya. Selanjutnya Kedatukan Besitang tidak lagi mendapat posisi dalam kehidupan di masyarkat adatnya. Semua posisi pemerintahan sudah diambil alih oleh pemerintah Republik Indonesia yakni pemerintahan Kecamatan Besitang. Dan Kampung Lama yang sebelumnya menjadi pusat pemerintahan Kedatukan dimekarkan menjadi beberapa desa dan status Kampung Lama dirubah menjadi Kelurahan dengan Lurah seorang tentara yang ditunjuk dari Kecamatan. - Meskipun kepemimpinan Kedatukan Besitang tidak lagi berjalan di masyarakat adatnya, namun gelar Datok tetap diteruskan oleh anak Datok Abdul Chalid yang bernama OK Hamzah hingga wafatnya pada tahun 2012 Masehi.
- Setelah wafat OK Hamzah, kerapatan adat Kedatukan Besitang menunjuk adiknya OK Muhammad Yusuf SH melanjutkan sebagai Datok hingga saat ini.
Kampung Ujung Tanjung dahulu merupakan sebuah pulau kecil yang dikelilingi sungai mati dan sungai batang serangan yang berada di wilayah Kesultanan Langkat. Lokasi ini adalah hutan dimana dimakamkan keluarga Tengku Hamzah yang merupakan pembesar Kesultanan Langkat.
" ["email"]=> string(22) "[email protected]" ["nohp"]=> string(13) "0812167403944" ["alamat"]=> string(21) "Kampung Ujung Tanjung" ["kode_wilayah"]=> string(6) "120510" ["kode_pos"]=> string(5) "20854" ["latlon"]=> string(0) "" ["geometry"]=> string(1068) "{"type":"Polygon","coordinates":[[[98.424711,3.909678],[98.424711,3.909678],[98.423724,3.908178],[98.423724,3.908178],[98.422909,3.90685],[98.422909,3.90685],[98.422308,3.905693],[98.422308,3.905693],[98.421278,3.90428],[98.421278,3.90428],[98.419905,3.902223],[98.419905,3.902223],[98.419347,3.900424],[98.419347,3.900424],[98.41969,3.898667],[98.41969,3.898667],[98.420205,3.897339],[98.420205,3.897339],[98.420033,3.896225],[98.420033,3.896225],[98.420506,3.894939],[98.420506,3.894939],[98.421407,3.892454],[98.421407,3.892454],[98.42205,3.891169],[98.42205,3.891169],[98.422952,3.889112],[98.422952,3.889112],[98.423681,3.887859],[98.423681,3.887859],[98.42823,3.890944],[98.42823,3.890944],[98.426943,3.893011],[98.426943,3.893011],[98.426986,3.893825],[98.426986,3.893825],[98.42926,3.896182],[98.42926,3.896182],[98.428745,3.897124],[98.428745,3.897124],[98.429904,3.898281],[98.429904,3.898281],[98.429303,3.89931],[98.429303,3.89931],[98.428917,3.899781],[98.42926,3.902137],[98.42926,3.902137],[98.426986,3.90865],[98.426986,3.90865],[98.424711,3.909678]]]}" ["zoom"]=> string(1) "9" ["created_by"]=> string(4) "6011" ["created_at"]=> string(19) "2024-08-20 16:24:28" ["updated_by"]=> string(4) "6011" ["updated_at"]=> string(19) "2024-09-26 15:42:14" } [2]=> object(stdClass)#35 (19) { ["id"]=> string(1) "4" ["kesultanan_id"]=> string(1) "2" ["kedatukan_id"]=> string(1) "1" ["nama"]=> string(20) "Kampung Paluh Sibaji" ["foto"]=> string(21) "vendor_1724673092.png" ["permalink"]=> NULL ["ndesc"]=> string(292) "Paluh Sibaji merupakan kampung nelayan yang berada di pesisir timur sumatera, tepatnya di Desa Paluh Sibaji, Kecamatan Pantai Labu, Kabupaten Deli Serdang. Kampung ini dihuni oleh penduduk yang mayoritas bersuku melayu dan beragama islam.