Sejarah Kedatukan Besitang
Kedatukan Besitang dahulu merupakan wilayah Kerajaan Aru yang pernah berdiri pada abad ke 11 hingga 16 Masehi. Kerajaan Aru berpusat di perbatasan Aceh yakni di kawasan hutan yang merupakan daerah aliran sungai Besitang, membentang dari Gunung Bendahara dan Gunung Lumut di sebelah Selatan menuju Teluk Aru di sebelah Utara.
Di sepanjang daerah aliran sungai Besitang inilah pemukiman penduduk bermula. Mereka melakukan kegiatan pertanian dan mengumpul hasil hutan seperti kapur barus (kamper), getah damar, kemenyan, emas dan lain-lain.
Di hulu sungai Besitang memiliki percabangan ke beberapa sungai, diantaranya sungai Buluh, Sipinang, Sikundur Kecil, Sikundur Besar. Semua sungai tersebut bermuara ke Teluk Aru dan menuju laut lepas di Selat Malaka.
Dalam Suma Oriental disebutkan bahwa kerajaan ini adalah kerajaan yang kuat. Kerajaan Aru merupakan penguasa terbesar di Sumatra yang memiliki wilayah kekuasaan yang luas dan memiliki pelabuhan yang ramai dikunjungi oleh kapal-kapal asing.
Hal ini cukup beralasan, karena sebagia besar pelabuhan Kerajaan ini berada di sepanjang pantai kawasan Teluk Aru yang dilindungi oleh pulau Sembilan yang cukup besar dengan luas tidak kurang 1.500 Ha.
Pulau inilah yang menjadi benteng alam bagi seluruh pelabuhan yang ada di Kerajaan Aru agar terhindar dari ganasnya ombak laut Selat Malaka. Beberapa pelabuhan tersebut diantaranya berada di Pulau Kampai, Pematang Tengah, Tanjung Siata, Pulau Mesjid, Pulau Talang, Pulau Kera, Pangkalan Siata dan Pangkalan Susu.
Dalam laporannya, Tomé Pires juga mendeskripsikan akan kehebatan armada kapal laut kerajaan Aru yang mampu melakukan pengontrolan lalu lintas kapal-kapal yang melalui Selat Malaka pada masa itu. Dalam Sulalatus Salatin, Kerajaan Aru disebut sebagai kerajaan yang setara kebesarannya dengan Malaka dan Pasai.
Hasil penelitian arkeologi terbaru, di seputar situs Pulau Kampai yang diperoleh melalui observasi, survei, dan ekskavasi dalam rentang antara tahun 2010, 2011, dan 2013 menunjukkan masa ramai perniagaan Kerajaan Aru di Pulau Kampai diperkirakan berlangsung antara abad ke-11 hingga ke-15 M.
Peran yang dijalani oleh Pulau Kampai adalah sebagai semacam tempat pengumpulan dan ekspor produk-produk alam dari pedalaman hutan di hulu sungai Besitang seperti kamper, getah damar, emas, dan lain-lain; sekaligus tempat pengumpulan barang-barang impor yang akan didistribusikan ke pedalaman.
Salah satu wilayah pedalaman yang terkenal tersebut adalah Kota Batu Sipinang yang berada di dalam hutan Sikundur. Lokasinya berjarak kurang lebih 80 km dari Teluk Aru menyusuri sungai Besitang.
Penyebutan Kota Batu Sipinang karena lokasi ini merupakan gugusan gua. Informasi masyarakat, gugusan gua tersebut berada di tiga titik lokasi; yakni dua titik di hulu sungai Sipinang dan satu titik di hulu sungai Buluh. Saat ini di gugusan gua-gua tersebut menjadi lokasi perburuan sarang burung walet oleh masyarakat.
Setelah abad ke-16 Masehi, Kerajaan Aru berhasil ditaklukkan Kerajaan Samudra Pasai. Dan selanjutnya Menetapkan wali negeri Besitang (Vasal) dari Kesulthanan Aceh yang dipimpin oleh Sulthan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam. Wali-wali negeri tersebut diantaranya:
- Sulthan Muda Muhammad Malikul Adil yang memimpin dari masa Sulthan Iskandar Muda (1607 – 1636), dilanjutkan oleh Sulthan Iskandar Tsani Alauddin Mughayat Syah (1636 – 1641). Pada kepemimpinan Sulthan Muda Muhammad Malikul Adil inilah Besitang telah ramai dan masyarakatnya makmur karena budi daya lada.
- Setelah Sulthan Muda Muhammad Malikul Adil mangkat, digantikan oleh Sulthan Muda Malikul Nasir Raja Suja sebagai wali negeri Besitang kedua. Saat itu Kesulthanan Aceh dipimpin oleh Sulthanah Sri Ratu Safiatuddin Tajul Alam pada tahun 1641 - 1675.
- Selanjutnya ketika Sulthan Muda Malikul Nasir Raja Suja mangkat, lalu digantikan Sulthan Muda Malikul Fadil Abdul Hamid sebagai wali negeri Besitang (vasal) ketiga. Saat itu Kesulthanan Aceh dipimpin oleh beberapa Sulthanah yakni: Sri Ratu Naqiatuddin Nurul Alam (1675 - 1678), Sri Ratu Zaqiatuddin Inayat Syah (1678 - 1688) dan Sri Ratu Zainatuddin Kamalat Syah (1688 - 1699).
Pada periode antara tahun 1675 - 1701 terjadi huru hara yang menyebabkan merosotnya harga lada dan disusul krisis ekonomi dimana masyarakat sulit mencari penghidupan. Dan secara perlahan lahan pertanian di sepanjang sungai Besitang ditinggalkan oleh penduduk dan kembali menjadi rimba belantara.
Oleh pemimpin Kerajaan Aceh saat itu, yakni Sulthan Jamalul Alam Badrul Munir (1703-1726), status Besitang sebagai kerajaan yang tunduk kepada kesultahan Aceh dihapus dan para keturunan pemimpinnya (zuriat Raja Muda) dijadikan pembesar di Kerajaan Aceh dengan memberi gelar Laksamana yang kemudian menjadi panglima laut Kerajaan Aceh di wilayah Pantai Timur yang bermarkas di teluk Aru, diantaranya:
- Laksamana Teuku Syamsuddin orang kaya Laksamana Sigli yang merupakan panglima tinggi Angkatan Laut Aceh di wilayah antai Timur pada masa Kesulthanan Aceh dipimpin oleh dinasti Syarif Maulana yakni Sulthan Badrul Alam Syarif Hasyim Jamalundin antara tahun (1699 – 1702) Masehi.
- Laksamana Teuku Abdul Jalil pada zaman pemerintahan Kesultnanan Jamalul Alam Badrul Munir antara tahun (1703 - 1726) Masehi .
- Laksamana Teuku Meurah Husin pada zaman Kesulthanan Aceh dipimpin Sulthan Alauddin Ahmad Syah (1727 - 1735) Masehi.
- Laksamana Teuku Abdul Hamid memimpin negeri Besitang I pada zaman Sulthan Alauddin Johan Syah (1735 - 1760) Masehi, yang merupakan Sulthan Aceh keturunan Bugis.
- Laksamana Nyak Malim alias Teuku Kejuruan Sumali Panglima Angkatan Laut Aceh Timur pada zaman Kesulthanan Aceh yang dipimpin oleh Sulthan Alaudin Mahmud Syah (1760 - 1764) Masehi
- Laksamana Nyak Yat Ulee Balang/Kejuruan Negeri Besitang bawahan Sulthan Aceh Sulthan Badruddin Johan Syah (1764 - 1765) Masehi. Kemudian dipegang kembali oleh Sulthan Alaudin Mahmud Syah dari tahun 1765 hingga 1773 Masehi.
Foto Rumah Besar Kedatukan Besitang di Kampung Lama. Saat ini telah rata dengan tanah setelah terjadinya penyerangan dan pembakaran oleh kelompok masyarakat yang dipimpin oleh gerombolan PKI dan Pesindo. Peristiwa ini lebih dikenal Revolusi Sosial 1946
Barulah pada tahun 1773 Masehi status Negeri Besitang menjadi daerah otonom atau yang lebih dikenal dengan Kejuruan Negeri Besitang Berdiri Sendiri yang tidak lagi menjadi bawahan Kesulthanan Aceh. Mulai saat itu gelar kepemimpinan Kedatukan Besitang secara perlahan berubah dari Laksamana menjadi Datok, diantaranya:
- Laksamana Teuku Ibrahim Ja’par gelar Datok Jabut Ulee Balang Kejuruan Negeri Besitang yang dimulai pada tahun 1773- 1810 Masehi dan merupakan Datok Besitang pertama.
- Selanjutnya tampuk pimpinan dilanjutkan Laksamana Teuku Malim yang merupakan anak Laksamana Teuku Ibrahim Ja’par sebagai penerus Kejuruan Negeri Besitang pada tahun 1810 hingga tahun 1839 Masehi.
- Setelah Laksamana Teuku Malim wafat, kepemimpinan Besitang dilanjutkan oleh anaknya yang bernama Datok Orang Kaya (OK) Manja Kaya pada tahun 1839 Masehi. Sejak kepemimpinan Datok Srimaharaja OK Manja Kaya inilah nama Kejeruan Besitang berubah menjadi Kedatukan Besitang dan pemimpinnya bergelar Orang Kaya (OK). Pada masa Datok OK Manja Kaya banyak terjadi pergolakan melawan kolonial Belanda. Beliau wafat pada tahun 1886 Masehi.
- Setelah wafatnya Datuk Sri Maharaja OK Manja Kaya, maka dinobatkan anaknya yang bernama Datok OK Muhammad Lia sebagai Datok Besitang pada tahun 1886 Masehi. Pada masa beliau terjadi perlawanan kepada Belanda. Konon perlawanan tersebut karena Belanda melakukan mengeksploitasi pertambangan minyak di Telaga Said yang merupakan wilayah Kedatukan Besitang. Pertambangan itu dibuka pada tahun 1884 Masehi.
Namun sayang, perlawanan tersebut berhasil dipatahkan. Dan akhirnya beliau ditangkap dan dibuang ke Bengkalis Kesultanan Siak dan dihukum mati di sana pada tahun 1887 Masehi. Atas jasa-jasanya Kedatukan Besitang memberi gelar kepada beliau sebagai Datok Johan Pahlawan. - Datok Besitang berikutnya jatuh kepada Datok OK Indra Lana gelar Datok Paduka Seri Indra yang merupakan anak dari Datok OK Muhammad Lia. Tahta Kedatukan Besitang ini diturunkan kepada beliau pada tahun 1887 Masehi, selepas ayahandanya wafat.
- Setelah Datok OK Indra Lana wafat, beliau digantikan oleh anaknya Datok OK Abdurrahman. Kepemimpinan OK Abdurahman sempat beberapa tahun tidak aktif karena dirinya mengalami kesulitan keuangan terlilit hutang.
- Barulah setelah adiknya yang paling bungsu Datok OK Abdul Chalid dipanggil pulang dari sekolahnya di Mesir, tampuk kepemimpinan Kedatukan Besitang kembali terisi, yakni pada tahun 1926. Pada kepemimpinan Datok OK Abdul Chalid, ekspansi perusahaan tambang minyak Belanda cukup gencar. Setelah berhasil melakukan penambangan minyak pertama di Telaga Said, perusahaan Belanda terus mencari sumber minyak di wilayah Kedatukan Besitang.
- Datok OK Abdul Chalid akhirnya memilih strategi melakukan perjanjian dengan pemerintah Gubernur Hindia Belanda untuk melindungi kawasan hutan adat di wilayah hulu sungai Besitang. Setelah seorang peneliti Belanda berhasil meyakinkan Gubernur Hidia Belanda bahwa di wilayah hutan adat Kedatukan Besitang terdapat keanekaragaman hayati yang cukup besar dan perlu di lindungi. Beliau melakukan penandatanganan perjanjian penetapan kawasan hutan adat Sikundur menjadi wilayah lindung sebagai warisan kepada bumi putra dan paru-paru dunia.
- Pada masa revolusi, banyak terjadi pergolakan perlawanan menentang penjajahan Belanda. Perlawanan ini termasuk kepada Kesulthanan Langkat yang bekerjasama dengan Belanda.Perlawanan ini lebih di kenal dengan peristiwa Revolusi Sosial. Beberapa zuriat Kesulthanan menjadi korban diantaranya penyair terkenal Tengku Amir Hamzah. Zuriat Kedatukan Besitang pun mendapat imbas dari Revolusi Sosial tersebut. Masyarakat dari luar suku melayu tidak memahami perbedaan antara Kesulthanan dan Kedatukan sehingga Datok Chalid harus mengungsi ke Aceh. Setelah beberapa lama di Aceh kembali tapi tidak ke Besitang, akan tetapi tinggal di Medan dan merubah namanya menjadi Muhammad Chalid. Akhirnya pada tahun 1962 Masehi Datok Abdul Chalid wafat dan dikebumikan di kompleks perkuburan Kesulthanan Deli di Mesjid Raya.
- Selanjutnya Kedatukan Besitang tidak lagi mendapat posisi dalam kehidupan di masyarkat adatnya. Semua posisi pemerintahan sudah diambil alih oleh pemerintah Republik Indonesia yakni pemerintahan Kecamatan Besitang. Dan Kampung Lama yang sebelumnya menjadi pusat pemerintahan Kedatukan dimekarkan menjadi beberapa desa dan status Kampung Lama dirubah menjadi Kelurahan dengan Lurah seorang tentara yang ditunjuk dari Kecamatan.
- Meskipun kepemimpinan Kedatukan Besitang tidak lagi berjalan di masyarakat adatnya, namun gelar Datok tetap diteruskan oleh anak Datok Abdul Chalid yang bernama OK Hamzah hingga wafatnya pada tahun 2012 Masehi.
- Setelah wafat OK Hamzah, kerapatan adat Kedatukan Besitang menunjuk adiknya OK Muhammad Yusuf SH melanjutkan sebagai Datok hingga saat ini.
Kampung Ujung Tanjung dahulu merupakan sebuah pulau kecil yang dikelilingi sungai mati dan sungai batang serangan yang berada di wilayah Kesultanan Langkat. Lokasi ini adalah hutan dimana dimakamkan keluarga Tengku Hamzah yang merupakan pembesar Kesultanan Langkat.
" ["email"]=> string(22) "[email protected]" ["nohp"]=> string(13) "0812167403944" ["alamat"]=> string(21) "Kampung Ujung Tanjung" ["kode_wilayah"]=> string(6) "120510" ["kode_pos"]=> string(5) "20854" ["latlon"]=> string(0) "" ["geometry"]=> string(1068) "{"type":"Polygon","coordinates":[[[98.424711,3.909678],[98.424711,3.909678],[98.423724,3.908178],[98.423724,3.908178],[98.422909,3.90685],[98.422909,3.90685],[98.422308,3.905693],[98.422308,3.905693],[98.421278,3.90428],[98.421278,3.90428],[98.419905,3.902223],[98.419905,3.902223],[98.419347,3.900424],[98.419347,3.900424],[98.41969,3.898667],[98.41969,3.898667],[98.420205,3.897339],[98.420205,3.897339],[98.420033,3.896225],[98.420033,3.896225],[98.420506,3.894939],[98.420506,3.894939],[98.421407,3.892454],[98.421407,3.892454],[98.42205,3.891169],[98.42205,3.891169],[98.422952,3.889112],[98.422952,3.889112],[98.423681,3.887859],[98.423681,3.887859],[98.42823,3.890944],[98.42823,3.890944],[98.426943,3.893011],[98.426943,3.893011],[98.426986,3.893825],[98.426986,3.893825],[98.42926,3.896182],[98.42926,3.896182],[98.428745,3.897124],[98.428745,3.897124],[98.429904,3.898281],[98.429904,3.898281],[98.429303,3.89931],[98.429303,3.89931],[98.428917,3.899781],[98.42926,3.902137],[98.42926,3.902137],[98.426986,3.90865],[98.426986,3.90865],[98.424711,3.909678]]]}" ["zoom"]=> string(1) "9" ["created_by"]=> string(4) "6011" ["created_at"]=> string(19) "2024-08-20 16:24:28" ["updated_by"]=> string(4) "6011" ["updated_at"]=> string(19) "2024-09-26 15:42:14" } [2]=> object(stdClass)#35 (19) { ["id"]=> string(1) "4" ["kesultanan_id"]=> string(1) "2" ["kedatukan_id"]=> string(1) "1" ["nama"]=> string(20) "Kampung Paluh Sibaji" ["foto"]=> string(21) "vendor_1724673092.png" ["permalink"]=> NULL ["ndesc"]=> string(292) "Paluh Sibaji merupakan kampung nelayan yang berada di pesisir timur sumatera, tepatnya di Desa Paluh Sibaji, Kecamatan Pantai Labu, Kabupaten Deli Serdang. Kampung ini dihuni oleh penduduk yang mayoritas bersuku melayu dan beragama islam.