Tentang Kami
Keberadaan Suku Melayu menyebar dan menetap di pesisir timur Sumatera Utara mulai dari Langkat di sebelah Utara sampai ke kawasan Labuhan Batu di sebelah Selatan. Jika ditinjau berdasarkan aspek kultural dan kesamaan tradisi, etnis Melayu di Sumatera Utara berkerabat dekat dengan etnis-etnis Melayu lainnya di Pulau Sumatera, seperti Riau, Jambi dan Palembang di Sumatera Selatan.
Secara historis pendirian perusahan Perkebunan asing untuk tanaman tembakau pada paruh ketiga abad ke 19 adalah awal berpindahnya hak dan kewenangan orang-orang Melayu di wilayah ini ke tangan para pekebun asing dengan dukungan pemerintah Hindia Belanda. Berikutnya sejarah mencatat bagaimana tanah-tanah yang sebagian besar berstatus tanah komunal milik orang-orang Melayu, Simalungun, Karo di wilayah ini berpindah dari Pengusaha perkebunan asing (1863-1958), Pemerintah Orde Lama (1959-1965), Pemerintah Orde Baru (1967-1998) dan Pemerintahan di era Reformasi (1999 - saat ini).
Sejarah dan catatan arsip hukum kolonial juga mencatat bahwa kontrak atau perjanjian awal yang dibuat Raja-Raja Kesultanan Melayu Islam utamanya di Deli, Serdang, Langkat dan Asahan dengan para pekebun asing dengan persetujuan pemerintahan Hindia Belanda adalah perjanjian perdata yang masuk dalam kategori Perjanjian Sewa Menyewa (jangka panjang) dan bukan Hak Guna Usaha (erfpacht). Konsekwensi hukum dari sifat Perjanjian Sewa adalah seharusnya tanah-tanah yang diperjanjikan (dikonsesikan) tersebut harus dikembalikan kepada pemiliknya, yakni rakyat/masyarakat lokal di wilayah ini, utamanya rakyat atau masyarakat Melayu. Hal ini sesuai dengan azas droit de suite atau zaaksgevolg dalam Hukum Benda, yakni suatu hak yang terus menerus mengikuti pemilik benda, atau hak yang mengikuti bendanya di tangan siapapun (het recht volgt de eigenaar van de zaak).
Perjuangan untuk mendapatkan kembali tanah-tanah leluhur (lebih kurang 260.000 ha, yang membentang dari Sungai Wampu di Kabupaten Langkat sampai Sei Ular, di Kabupaten Serdang Bedagai) masyarakat Melayu di wilayah ini, atau setidaknya menikmati benefit dari sesuatu yang berada di atas tanah tersebut sudah dimulai sejak kontrak-kontrak konsesi ditandatangani dengan mendesak dimasukkannya klausule kewajiban memberikan rakyat/masyarakat sekitar perkebunan untuk menikmati dan mengelola tanah-tanah bagi penanaman tembakau setelah panen tembakau selesai (untuk satu tahun dan kemudian diubah untuk satu kali panen), untuk ditanami palawija dan tanaman-tanaman untuk kebutuhan sehari-hari (sayuran dll.) Tanah-tanah eks tanaman tembakau itu dikenal dengan Tanah Jaluran. Rakyat yang mendapatkan hak untuk menggunakan tanah eks tanaman tembakau disebut Rakyat Penunggu.
Hampir 100 tahun sejak konsesi-konsesi tersebut dilahirkan, setidaknya sampai akhir tahun lima puluhan, masyarakat Melayu pesisir timur Sumatera Utara hanya melakukan perlawanan melalui perjuangan hak mengusahakan lahan eks tanaman tembakau yang sudah dipanen. Kesempatan itu ternyata jauh lebih baik dibandingkan masa sesudahnya. Sejak dicanangkannya Nasionalisasi Perusahaan Belanda di Indonesia oleh Presiden Soekarno pada tahun 1958 melalui UU No.86/1958, nasib buruk komunitas lokal, pemilik sah tanah-tanah komunal menjadi jauh lebih tragis. Negara atas nama Kedaulatan sah yang dimilikinya, mengambil alih seluruh penguasaan tanah-tanah tersebut tanpa melihat pada asal usulnya.
Perlawanan yang lebih struktural untuk mendapatkan kembali lahan-lahan subur tersebut dimulai sejak didirikannya Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI) pada pertengahan tahun lima puluhan, hasil mufakat para Sultan dan tokoh Melayu. Pola gerakan yang populis (intensitas pertemuan di kampong) dan dibangun dengan nilai-nilai jihad dalam agama (Islam) oleh para pemimpinnya (Abdul Kadir Nuh dan Abnawi Nuh) meneguhkan eksistensi perjuangan dan berhasil menguasai sejumlah lahan eks tanah-tanah jaluran/tanah kampong yang dulunya merupakan konsesi perkebunan tembakau. Dalam zaman yang berubah dan cara pandang negara yang lebih represif, Pola gerakan ini mulai berubah menjadi lebih “pragmatis”, dengan melibatkan komponen masyarakat di luar basis inti gerakan selama ini Mastautin (penduduk asli), Semenda (penduduk luar yang menikahi Mastautin) dan Resam (Penduduk luar yang masuk menjadi Islam (Masuk Melayu).
Di level Kesultanan, gerakan yang lebih riil untuk mendapatkan lahan-lahan komunal ini baru berlangsung selepas Reformasi 1998. Pola gerakannya lebih high politics dengan melakukan gugatan perdata dan PTUN ke Pengadilan dengan menggunakan bukti-bukti akte konsesi dan berbagai perjanjian tertulis lainnya yang diperoleh di Negeri Belanda. Gerakan Kesultanan dan Gerakan BPRPI sama sekali tidak terhubungan dan keduanyta memiliki tujuan yang relatif berbeda. Target komunalisme yang sejatinya ada di dua gerakan itu pada ujungan berakhir pada nilai-nilai indivualisme (terutama di gerakan Kesultanan). BPRPI masih menyisakan pola komunalisme penguasaan lahan di beberapa hamparan (misalnya di Sicanggang, Langkat, Percut dan beberapa tempat lainya). Dengan mengambil pengalaman empiris dua gerakan ini, diharapkan sarasehan ini akan menghasilkan sebuah formula baru untuk memperjuangkan ruang hidup orang Melayu di wilayah ini.