Kerajinan Tikar Pandan Terkendala Bahan Baku dan Pemasaran
Kerajinan tikar pandan, yang merupakan salah satu produk budaya Melayu pesisir, kini semakin terpinggirkan, kalah bersaing dengan beragam produk sejenis buatan pabrik.
Kemampuan menganyam lembaran demi lembaran hingga menjadi sebuah tikar, bakal menjadi sejarah semata, yang tertinggal bersama para tetua di kampung-kampung. Pasalnya, dianggap tak memiliki masa depan, sehingga anak-anak muda yang seyogyanya menjadi peneras budaya leluhur, enggan mempelajarinya lebih lanjut.
Kondisi ini semakin diperparah dengan semakin tergerusnya areal tempat tumbuh kembangnya flora pandan sebagai bahan baku kerajinan tersebut. Rawa-rawa yang sebelumnya dipenuhi tanaman pandan dan sejenisnya, perlahan beralih fungsi.
Ini adalah sekelumit kegelisahan OK Thamrin (75 tahun), salah satu tetua adat di Desa Pantai Cermin Kanan, Kecamatan Pantai Cermin, Kabupate Serdang Bedagai. Bersama sang istri, Asmala (67 tahun), mereka menjadi perajin tikar pandan sejak usia belia.
Keduanya berbagi peran. OK Thamirn sebagai pencari bahan baku daun pandan, mengolahnya menjadi lembaran-lembaran bahan baku tikar. Sementara sang istri, kemudian akan merangkainya hingga menjadi sebuiah tikar yang sangat nyaman sebagai alas duduk atau fungsi lain.
Jika dulu Ok Thamrin akan sangat mudah mencari rumpunan pandan di sekitar rumah, sekarang tidak lagi. Ia harus membudidayakannya, menanam, merawat, dan memantau pertumbuhanya. Ada pun areal tempat menanam adalah sepanjang benteng sungai yang juga adalah jalur hijau.
Saat ini ada 16 titik yang menjadi fokus penanaman OK Thamrin, dan ia bisa memanennya setiap hari sebanyak 3 ikat (lereng) atau sesuai pesanan . Ya, selain memenuhi kebutuhan bahan baku produksi istrinya, sesekali ia juga menerima pesanan pandan dari perajin lain.
Akan halnya proses pembuatan lembaran bahan baku tikar, melalui proses yang cukup sulit. Setelah dipanen, selanjutnya dibuang duri, direbus kurang lebih 30 menit agar tekstur daun pandan menjadi lembut. Selanjutnya proses pewarnaan dan penjemuran.
OK Thamrin kerap menerima orderan tikar untuk membungkus jenazah. Biasanya tikar ini polos tanpa pwewarnaan dan dibanderol harga Rp 37 ribu per lembar.
Tikar pandan juga kerap digunakan sebagai alas duduk. Nah, biasanya untuk alas duduk ukurannya lebih besar dan dibuat motif melalui pewarnaan sehingga tampilannya lebih estetik.
Baik OK Thamrin mau pun Asmala berharap, ke depannya Pemerintah bisa membuat program untuk pengembangan kerajinan tikar pandan, melalui pengadaan bahan baku melalui penanaman tanaman pandan.
Selain itu dibutuhkan juga dukungan untuk membantu pengembangan pasar sehingga jangkauannya menjadi lebih luas lagi. Varian produk juga menjadi hal penting yang seharusnya bisa dilakukan. Dengan demikian, produk budaya Melayu yang berbasis pada keberlanjutan lingkungan ini, bisa berkembang dan menurun kepada anak-anak muda penerus budaya.
Lihat juga